Senin, 29 Maret 2010

Kamus Kebaikan

Heru Kurniawan



Seperti biasanya, setiap kali masuk kelas, Bu Prita selalu bertanya pada seluruh siswa kelas lima, “Perbuatan baik apa yang telah kalian lakukan hari kemarin?”
Satu per satu siswa pun menceritakan kebaikan yang telah dilakukan, mulai dari membersihkan tempat tidur, membuang sampah, membantu ibu, menolong teman, sampai memberi uang pada pengemis. Dengan saksama, Bu Prita pun mencatat kebaikan-kebaikan siswanya dalam sebuah buku besar, yang disebutnya: Kamus Kebaikan Siswa Kelas Lima.
Kata Bu Prita, Kamus Kebaikan ini berguna untuk mengabsen dan mengingatkan kami, agar setiap harinya tidak boleh lupa untuk berbuat baik. Dan barang siapa yang tidak bisa menyebutkan kebaikan yang telah dilakukan, maka siswa tersebut tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran.
Apa yang dilakukan Bu Prita sungguh menarik bagi siswa kelas lima. Apalagi, saat siswa menyebut kebaikannya, Bu Prita selalu memperbolehkan siswanya untuk bercerita. Maka, para siswa pun antusias menyebutkan kebaikannya, yang disertai dengan cerita pengalamannya. Dengan cara ini, setiap pagi, siswa kelas lima selalu antusias menanti dan mengikuti pelajaran Bu Prita. Kebiasaan bercerita pun akhirnya mahir dikuasai seluruh siswa kelas lima. Berbagai juara pun disabet siswa-siswa Bu Prita dalam bidang bercerita, baik mendongeng maupun menulis. Siswa-siswa kelas lima pun terkenal seantero sekolah.

Hari bertambah hari, bulan berganti bulan, lambat laun, Kamus Kebaikan Siswa Kelas Lima, yang tebal hampir menyerupai Kamus Besar Bahasa Indonesia, jumlah halamannya pun habis.
Sampai pada suatu pagi, selesai berdoa untuk memulai pelajaran, tiba-tiba Husin, ketua kelas lima, mengangkat tangan dan interupsi, “Maaf, Bu, Kamus Kebaikan Siswa Kelas Lima halamannya sudah habis. Bagaimana Bu? Apakah Ibu akan menulis Kamus Kebaikan jilid kedua?”
“Ha..ha..!” serentak seluruh siswa tertawa. Bu Prita tersenyum tenang pada siswanya, dan berkata, “Tenang Husin, Ibu sudah siapkan buku tebal untuk Ibu jadikan kamus lagi.”
“Apakah Ibu benar akan membuat Kamus Kebaikan jilid kedua?” tanya Ratih.
“Tidak, Ratih. Kamus Kebaikan sudah selesai. Buku tebal ini akan Ibu jadikan sebagai Kamus Kesalahan Siswa Kelas Lima,” kata Bu Prita seraya mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.
“Hah! Maksud Ibu?” seru semua siswa kelas lima bingung.
“Kamus Kesalahan ini adalah kamus yang akan mencatat kesalahan-kesalahan yang sudah kalian perbuat hari kemarin...”
“Terus, apa yang harus kami lakukan, Bu,” tanya Husin penasaran.
“Mulai hari ini, kalian wajib menyebutkan kesalahan yang sudah kalian perbuat kemarin, dan besok kalian tidak boleh melakukan kesalahan yang telah kalian perbuat lagi. Jika itu kalian lakukan, itu artinya kalian tidak belajar dari pengalaman,” terang Bu Prita.
Serentak kelas sunyi. Para siswa bengong berpikir tentang kesalahan yang sudah dilakukan hari kemarin.
“Kesalahan apa yang sudah kalian perbuat hari kemarin?” tanya Bu Prita.
Seluruh siswa masih bengong. Tidak ada satu pun yang angkat tangan. Bu Prita tersenyum, dan berkata, “Kalian harus belajar sekarang, Anak-anakku. Mengakui kebaikan itu lebih mudah daripada mengakui kesalahan. Tapi, dengan Kamus Kesalahan ini, nanti kita akan belajar untuk mengakui kesalahan. Kalian tidak usah malu, karena dengan mengakui kesalahan berarti ada niat untuk tidak mengulanginya. Bukankah itu juga kebaikan. Maka, Kamus Kesalahan ini sesungguhnya bagian dari Kamus Kebaikan...”
“Benar kataku, ini Kamus Kebaikan jilid kedua,” potong Husin bangga.
Seluruh siswa tertawa. Seluruh siswa paham dengan perkataan Bu Prita. Seluruh siswa kelas mendapat pelajaran baru dari Kamus Kesalahan: sesungguhnya mengakui kesalahan adalah perbuatan mulia.
Sejak saat itu, setiap hari, setiap kesalahan yang diakui siswa dicatat dalam Kamus Kesalahan. Tidak lupa, para siswa juga mengucapkan janji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sudah dilakukan.
“Bu, kok, Kamus Kesalahannya tidak cepat habis, tidak seperti Kamus Kebaikan?” tanya Ratih pada suatu pagi.
“Inilah yang membuat Ibu bangga pada kalian,” kata Bu Prita.
“Bangga kenapa, Bu?” tanya Lindu.
“Itu berarti kalian adalah anak-anak yang baik. Karena, orang baik adalah orang yang banyak berbuat kebaikan dan sedikit berbuat kesalahan,” terang Bu Prita.
Seluruh siswa kelas lima pun tersenyum bangga. Dalam hati mereka berkata, “Terima kasih, Bu Prita, Ibu Guru teladan kita semua.”


Karangklesem, Agustus 2009

Dimuat Majalah BOBO, Edisi Minggu ke-4 Maret 2010

Siswa Terakhir

Uhh... kenapa sih hari ini aku merasa begitu sial,” gerutu Ocha, sambil meletakkan sapu dan tempat sampah.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi Ocha masih harus berada di sekolah. Sesuai pesan Bu Rini, guru Matematika, bahwa sesuai kegiatan ekstra, Ocha harus membersihkan kelas dan papan tulis. Sebagai hukuman karena telah dua kali membolos dan tidak mengerjakan PR.
”Maaf Bu, saya sudah mengerjakan PR tapi bukunya ketinggalan,” begitu jawabnya, setiap kali Bu Rini menanyakan PR dan menyuruhnya maju, hingga membuat Bu Rini marah dan memberiknya hukuman, untuk menyapu dan membersihkan papan tulis setelah kegiatan ekstra menari. Ketika Ocha selesai menyapu, hendak membuang sampah, tiba-tiba ia merasa takut, teringat cerita Linda, salah satu temannya. Bahwa di gudang belakang sekolah dekat tempat pembuangan sampah, angker.
”Kalian jangan berani-berani lewat atau bermain di dekat gudang, karena ada penunggunya,” dengan semangat Tina memberitahu teman-temannya.
”Selain itu, penunggunya tidak menyukai anak-anak yang malas dan nakal,” ucap Lili menyambung cerita Tina.
Pada awalnya Ocha tidak percaya dengan cerita teman-temannya, tapi tiba-tiba, Ocha merasa takut. Karena sekolah sudah sangat sepi, hanya Ocha siswa terakhir, yang masih berada di sekolah.
”Aku harus tetap membuang sampah ini,” gumamnya sambil mendesah pelan. Karena takut besok ditegur Bu Rini, akhirnya Ocha nekat membuang sampah ke gudang belakang sekolah. Saat berada tepat di depan gudang, Ocha merasa ada suara aneh.
”Gubrak,” Ocha melompat, kaget dan terjatuh.
”Ngeong,” tiba-tiba suara muncul setelah suara yang mengagetkan dan membuatnya takut.
”Ah, ternyata kucing yang sedang mengejar tikus,” Ocha merasa tenang. Namun, ketika Ocha bangun dan berjalan menuju halaman sekolah, tiba-tiba ada suara yang membuatnya takut, seperti ada yang melangkah mendekat. Ketika Ocha menoleh tidak ada siapa-siapa, lalu Ocha kembali berjalan.
”Aaa,” Ocha terpekik, ada seraut wajah menakutkan beberapa senti dari wajahnya. Wajah perempuan seumuran dirinya. Ocha mundur, lalu terjatuh.
”Aku tidak menyukai siswa nakal dan malas sepertimu,” begitu ucapnya sambil mendekat pada Ocha. Ocha menjerit ketakutan ketika sebuah tangan menyentuhnya dan terasa begitu dingin, Ocha tersentak dan menoleh, ternyata ia masih di dalam kelas.
”Ocha, kamu tertidur di dalam kelas ya?” tegur Bu Rini, membuat Ocha terkejut dan sekaligus lega, karena telah terbebas dari mimpi aneh dan menakutkan.
”Ocha, kenapa kamu tidur di kelas?” tanya Bu Rini setelah pelajaran Matematika selesai.
”Ocha ngantuk Bu, karena tidur terlalu malam,” jawabnya malu-malu. Bu Rini tidak memarahinya, tapi menasihati dengan lembut, kalau Ocha harus tidur tepat waktu agar tidak terlambat ke sekolah dan tertidur saat pelajaran. Ocha berjanji pada dirinya sendiri dan Bu Rini, untuk selalu tidur tepat waktu dan mengerjakan PR, serta tidak terlalu sering menonton TV di malam hari. Karena Ocha takut penunggu gudang belakang sekolah akan benar-benar mencarinya, kalau ia masih malas.
- Siti Nur Azizah

dimuat di SOLOPOS, Minggu 21 Maret 2010