Nurul Ismuninggar
:Penghuni RUMAH AJAIB, mahasiswa STAIN Purwokerto.
Sore itu cuaca agak mendung, Agung sedang asyik bermain kelereng bersama kedua temannya di belakang rumah.
Ia memainkan kelerengnya tepat sasaran, tidak heran jika teman-temannya menjulukinya Si Jago Kelereng Baja Hitam, karena kelereng yang ia gunakan untuk bermain berwarna hitam dan sedikit warna putih.Setelah puas bermain, Agung berkata kepada temannya, “Ris, besok main lagi ya!” kata Agung kepada Aris.“Oke bos!” ucap Aris dengan senang hati.“Gung, minta kelerengnya dong!” pinta Zidan pada Agung.“Enak aja!” jawab Agung sambil pergi meninggalkan kedua temannya.Sesampai di rumah, ia menghitung kelereng yang ia dapatkan tiap sore ketika adu kelereng bersama teman-temannya.“Satu, dua, tiga...empat ratus lima puluh,” itung Agung dengan teliti.Ia begitu puas melihat kelerengnya yang semakin hari semakin banyak dan tentunya semakin beraneka ragam warnanya.“Gung, mandi dulu sudah sore, bentar lagi magrib tiba, kamu hari ini mengaji kan?” perintah Ibunya sambil menyiapkan makan.“Bentar Bu,” jawab Agung singkat.“Ayolah Nak, keluarlah makan. Ibu telah menyiapkan makan telur dadar kecap manis, kamu pasti suka,” kata Ibunya.Mendengar telur dadar kecap manis, ia langsung beranjak dari kamarnya, lalu ia makan dengan lahapnya. Tak terasa Agung telah menghabiskan nasi dua piring.“Uaagh,” suara bunyi perutnya, tanda ia sudah kenyang. Tanpa pikir panjang Agung langsung kembali ke kamarnya lalu merebahkan dirinya di tempat tidur. Sebelum tidur, tak lupa ia menaruh kelereng hitamnya di sebelah bantal kanannya. Agung pun terlelap dalam tidurnya.Keesokan harinya, Agung bangun pukul 05.00 WIB, pertama yang ia lakukan adalah mencium kelereng hitamnya. Agung terus memandanginya, tiba-tiba air matanya keluar. Ia kembali memasukkan kelerengnya kembali ke dalam tas.“Aku harus bisa mendapatkan 50 butir kelereng lagi,” katanya dalam hati.Setelah selesai salat dan mandi, Agung siap berangkat sekolah. Tak lupa ia pakai dasi dan topi. Agung berpamitan kepada ibunya. Ia begitu menghormati ibunya, apalagi setelah ditinggalkan ayahnya dua tahun yang lalu.Sesampai di sekolah, Agung bergabung dengan teman-temannya. Ia mulai memainkan kelerengnya, sedikit demi sedikit ia dapat mengumpulkan kelereng dari teman-temannya yang kalah bermain dengannya.“Satu, dua, tiga....lima puluh,” hitung Agung dengan cermat.Theng...theng....theng....suara bel berbunyi.Anak-anak berlarian masuk ke kelas, namun lain halnya dengan Agung. Ia berjalan pelan sambil meneteskan air mata. Agung tidak masuk ke kelas, tapi ia duduk di bawah pohon depan kelasnya.“Agung, ngapain kamu di situ? Ayo masuk!” perintah Ibu Guru Susi ketika lewat di depan Agung.Agung hanya menggelengkan kepala tanda tidak mau menuruti perintah gurunya.“Kamu kenapa? Kok menangis?” tanya Bu Susi mendekat sambil mengelus kepala Agung.Agung memberikan kelereng hitamnya kepada Ibu Susi. Ia pun bercerita, “Saya sudah memenuhi janji saya pada adik saya kalau saya akan memberikan 500 butir kelereng saya tepat di hari ulang tahun adik saya Bu. Tapi adik saya meninggal terkena demam berdarah. Saya akan menaruh seluruh kelereng saya yang sudah selama ini saya kumpulkan,” Agung memberi penjelasan pada ibu gurunya.Bu Susi tak kuasa menahan air matanya, tangisnya semakin keras. Bu Susi terharu mendengar cerita siswanya, begitu berat beban jiwanya, Bu Susi memeluk Agung dengan lembut.
Dimuat di SOLO POS, 8 November 2009
Minggu, 15 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar